“Tidak seorang pun di negara ini yang menafikan peranan MoU Helsinki sebagai titik tolak penyelesaian masalah Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI,” jelas Yusril dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).
Laporan Rianza Alfandi | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengimbau masyarakat Aceh untuk tidak salah paham terhadap pernyataannya terkait kedudukan MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dalam penyelesaian status empat pulau yang sempat menjadi polemik antara Aceh dan Sumatera Utara.
“Tidak seorang pun di negara ini yang menafikan peranan MoU Helsinki sebagai titik tolak penyelesaian masalah Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI,” jelas Yusril dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).
Yusril mengaku bahwa dirinya menjabat Mensesneg ketika perundingan Helsinki berlangsung, sehingga ia terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam diskusi internal Pemerintah RI dengan Tim Perundiing dalam menyepakati MoU, termasuk menindaklanjuti hasil MoU.
“Sebab saya juga bersama Mendagri Alm Mohammad Ma’ruf yang ditugasi Presiden membahas RUU Pemerintahan Aceh dengan DPR sampai selesai,” ujarnya.
Yusril menegaskan dirinya sangat memahami semangat dari MoU Helsinki merupakan titik tolak dalam menyelesaikan persoalan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh.
Namun, lanjut Yusril, dalam konteks penyelesaian status empat pulau antara Aceh dan Sumut, rujukannya tidak bisa secara langsung kepada MoU Helsinki dan UU No 24 Tahun 1956.
“MoU Helsinki menegaskan bahwa wilayah Aceh mengacu kepada UU No 24 Tahun 1956, tetapi UU No 24 Tahun 1956 itu hanya menyebutkan kabupaten-kabupaten mana saja yang masuk wilayah Provinsi Aceh.
Sementara status empat pulau, sepatah kata pun tidak disebutkan dalam undang-undang tersebut,” tuturnya.
Ia menjelaskan bahwa penentuan batas daerah provinsi, kabupaten, dan kota harus mengacu kepada ketentuan yang lebih mutakhir, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah kedua kalinya dengan UU No 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.
“UU ini menegaskan bahwa batas daerah diputuskan dalam Peraturan Mendagri.
Itu kalau UU tentang pembentukan provinsi, kabupaten dan kota yang baru tidak menentukan secara jelas batas-batas koordinat daerah yang dimekarkan itu. Itu inti penjelasan saya,” tegasnya.
Dengan demikian, Yusril menyatakan keheranannya atas adanya pihak-pihak yang menuduh dirinya tidak menghargai MoU Helsinki dan bahkan melontarkan kecaman-kecaman.
“Saya sangat heran ada sementara pihak yang menuduh diri saya tidak menghargai MoU Helsinki dan berbagai kecaman lainnya,” imbuhnya.
Terkait keputusan Presiden Prabowo Subianto, Yusril menjelaskan bahwa keputusan tersebut mengacu pada dokumen kesepakatan antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar pada tahun 1992 yang dibuat atas arahan Presiden Soeharto dan Mendagri Rudini waktu itu.
“Tahun 1992 itu belum ada MoU Helsinki. Seperti saya katakan tadi, MoU itu rujukan kita bersama, spirit bersama, dalam menyelesaikan masalah apa pun antara Pemerintah Pusat dengan Aceh.